Banten – Angin surga itu memang terasa berhembus sejuk. Dalam khazanah bahasa dan sastra kalimat hembusan angin surga itu dominan acap digunakan dalam rumpun pantun seperti yang dikenal akrab dalam suku bangsa Melayu. Itu pula sebabnya, pantun Melayu jadi begitu populer sebagai ungkapan menarik untuk digunakan dalam berbagai tradisi politik hingga ekonomi serta diplomasi kebudayaan.
Dari perspektif ilmu komunikasi, ungkapan dari makna yang hendak dikatakan oleh hembusan angin surga itu artinya adalah semacam janji kosong belaka. Karena apa yang dimaknai oleh hembusan angin surga itu, sekedar janji-janji yang tak perlu ditunggu akan wujudnya.
Dalam bahasa slengekkan anak muda milineal hari ini, itulah yang mereka maksud bual-bual saja itu, alias songong. Seperti nyanyian tentang janji cuma janji, hanya mimpi itu. Karena acara berbulan madu ke bulan cuma milik pungguk semata. Jadi teks dan konteks dalam suatu ungkapan akan sangat menentukan makna, termasuk dari perspektif mana cara memahaminya. Sebab untuk menilik suatu makna yang diungkapkan seperti dalam tradisi pantun, diperlukan sikap arif dan bijak untuk menangkap substabsi isi yang diusung oleh bahasa ungkap tersebut.
Dari perspektif politik, hembusan angin surga itu memang penting dan perlu, meski tetap saja dianggap buruk, karena bisa masuk dalam kategori perbuatan dosa bila harus merujuk pada tatanan etika dan moral agama. Sebab hembusan angin surga itu artinya adalah janji kosong. Bohong !. Atau bahkan bisa juga disebut sebagai tindak penipuan yang memiliki sanksi hukum dan pasal etika serta moral yang jahat.
Yang menarik, justru dalam perspektif religius, secara spiritual ungkapan dari hembusan angin surga itu bisa dipahami adanya pengakuan serta kepercayaan kepada Tuhan. Sebab pemilik surga itu — juga termasuk neraka — hanya Tuhan Yang Esa. Jadi dalam agama, sanepo seperti angin surga itu, sesungguhnya ekspresi dari keyakinan adanya Tuhan. Kendati pengungkapannya dilakukan dengan kesadaran untuk menipu sesama manusia lainnya.
Menjelang Pilkada maupun Pilpres — seperti yang telah terkesan semakin memanas sejak beberapa waktu terakhir ini di Indonesia — boleh saja diperhatikan hembus angin surga itu mulai sepoi ditiupkan. Ada memang, yang terkesan lebih santun atau memiliki sisa rasa malu, sehingga tak sepugar film biru yang tidak mampu diatasi Kemenkomkinfo yang justru lebih banyak mengurus masalah lain.
Sanepo angin surga itu memang sangat membuat. Karena selalu diucapkan dengan gaya mulut yang manis menawan. Bahkan ada yang pasang strategi mengucurkan dana sak imprit untuk kemudian menjanjikan akan asa dana yang lebih besar untuk dibagikan. Tapi biasanya, harus ada terlebih dahulu transaksi dukungan yang nyata seperti menebar informasi ketokohan yang bersangkutan, atau kampanye dengan cara lain yang bisa dibuat secara gratisan.
Pendek kata, saat menjelang Pilkada, Pilres atau Pileg, semua itu bisa saja diterima– atau terpaksa diterima — meski ujungnya harus tetap pada pilihan sikap sendiri. Pilihan cara serupa ini merupakan upaya perlawanan budaya seperti istilah inggih ora kepanggih. Seperti sikap bijak iyo nan di urang, laluan nan di awak.
Jadi tak ada salahnya politik uang menjelang Pilkada, Pilpres dan Pileg nanti disikapi dengan cara bijak seperti model perlawanan budaya lokal seperti itu, supaya tak perlu terjadi konflik antara peserta dengan penonton. Sebab selama ini rakyat selalu diposisikan sebagai penonton yang tak boleh berpartisipasi mulai dari berpendapat sampai usulan. Karena rakyat dianggap tidak perlu ikut bermain atau berperan serta dalam kapasitas apapun. Jangankan dalam pembangunan bangsa dan negaranya sendiri, sekedar untuk memberi masukan pun bisa dianggap ekstreis alias pembangjang. Jadi dalam kediaman rakyat yang terbungkam, kita memilih sikap sendiri dengan mengacu pada kearifan lokal yang cukup banyak diwariskan oleh para leluhur kita itu.
Banten, 20-24 September 2022