Jakarta – Pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Dimana Pemerintah melalui Kementerian ESDM saat ini sedang melakukan uji coba konversi gas LPG 3 kg ke kompor listrik dengan biaya 560 Milyar untuk 300.000 rumah
Uji coba ini dilakukan di tiga kota, yakni Denpasar, Solo, dan Sumatera, dengan kompor listrik dua tungku dengan kapasitas 1.000 watt. Namun kebijakan ini mendapat tentangan dari M. Rafik Perkasa Alamsyah Ketua Umum Relawan Aliansi Masyarakat untuk Nawacita (Al Maun), sebab dinilai merugikan rakyat kecil.
“Rencana pemerintah ini malah akan membebani masyarakatnya. Sebab, penggunaan kompor listrik cenderung lebih boros ketimbang kompor LPG 3 kg. Apalagi ditambah beban kenaikan BBM yang dirasakan pelaku usaha dan rakyat kecil,” ujar Rafik sapaan akrabnya saat diwawancarai wartawan senior Syafrudin Budiman, Jumat (23/09/2022) di Jakarta.
Menurut Rafik yang juga Ketua Umum DPP Ikatan Pemuda-Pemudi Minang Indonesia (IPPMI) ini, kondisi yang mengharuskan PLN melakukan pemadaman listrik secara berkala, juga akan mempersulit masyarakat saat memasak. Lain lagi apabila mati lampu, masaknya bagaimana?.
“Kami keberatan dengan rencana kebijakan tersebut. Jika masyarakat diminta menggunakan kompor listrik, itu akan membuat konsumsi listrik atau tagihan semakin membengkak. Sebab, pakai kompor listrik ‘makan’ watt besar, dan kalau mati lampu malah tidak efisien,” katanya.
Rafik juga menganggap rencana pemerintah ini hanya akan memberatkan kelas menengah ke bawah. Apalagi, pelaku UMKM, pedagang gerobak keliling atau pedagang kaki lima (PK-5) harus membeli alat penyimpanan listrik untuk bisa memasak.
“Kalaupun ada kebijakan konversi gas LPG seharusnya ditujukan untuk kelas menengah ke atas. Sebab, mereka pasti mampu untuk membayar listrik lebih banyak. Sehingga bagi rakyat kecil tidak diwajibkan konversi walau kompor akan diberikan gratis,” jelas Rafik.
Rafik menambahkan, bahwa bantuan paket kompor listrik secara gratis kepada 300 ribu rumah tangga akan membebani rakyat kecil. Alasan subsidi penerima paket kompor listrik ini yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) akan menjebak masyarakat.
“Memang paket itu, terdiri dari satu kompor listrik, satu alat masak dan satu Miniature Circuit Breaker (MCB) atau penambah daya khusus untuk kompor listrik. Namun nantinya, dayanya akan dinaikan, sehingga rakyat harus bayar listrik lebih mahal,” tukas Rafik menyayangkan kebijakan ini.
*Relawan Al Maun Desak Presiden Copot Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Direktur PLN*
M. Rafik Perkasa Alamsyah Ketua Umum DPP Relawan Aliansi Masyarakat untuk Nawacita (Al Maun) mengatakan, apabila Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Direktur PLN tidak berpihak kepada rakyat dengan memaksakan konversi gas LPG ke kompor listrik. Kata dia, lebih baik mundur atau dicopot oleh Presiden.
“Kalau hanya untuk berhemat dan untuk ambil untung dalam urusan listrik, sebaiknya Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Direktur PLN mundur. Kami minta kepada Presiden Jokowi untuk mencopot mereka, sebab sudah tidak peka pada situasi masyarakat yang semakin sulit,” tegas Rafik.
Menurut Rafik, alasan menyalurkan oversupply dengan harus membayar take or pay menjadi beban adalah retorika pemerintah. Seharusnya kata Rafik, kalau mau menggalakkan kompor listrik cukup dengan sosialisasi tanpa harus memaksakan.
“Biar rakyat yang memilih sendiri, apakah mau beralih dari gas LPG ke kompor listrik? Kalau mau beralih silahkan, jika tidak ya ngak papa. Urusan over supply pasokan listrik adalah resiko bisnis PLN. Kenapa rakyat yang harus nanggung?,” terangnya.
Kata Rafik, kontrak listrik PLN sendiri memang menerapkan skema take or pay. Artinya, PLN harus tetap membayar sesuai kontrak meski listrik yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP) dipakai atau tidak. Namun, jangan sampai over supply ini dibebankan pada negara dengan memberikan kompor listrik, yang nantinya akan menjadi beban membayar listrik.
“Subsidi kompor listrik untuk ujicoba diberbagai kota dengan 300.000 rumah saja, sudah memakan biaya 560 Milyar. Bagaimana kalau 20 juta sampai 30 juta kompor listrik, tentu justru membebani APBN. Hematnya dimana coba, kan aneh,” ucapnya.
Terakhir kata Rafik, seharusnya secara alamiah dan melalui sosialisasi kepada masyarakat agar beralih sendiri dari gas LPG ke kompor listrik. Sehingga kalau ada yang mau beralih mandiri akan membantu over supplay daya PLN.
“Selama ini PLN sudah dapat uang dari masyarakat lewat pembayaran langsung. Bahkan manajemen PLN sudah tertata dengan baik, tinggal meningkatkan pelayanan dan kapasitasnya. Kalau ada rugi jangan rakyat jadi beban dan jangan membebani APBN dengan kompor listrik,” pungkas Rafik.
*Program Kompor Listrik Siasati Kelebihan Pasokan PLN*
Sebelumnya, Kamis, (22/09/2022) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, rencana konversi gas LPG 3 kg ke kompor listrik adalah upaya untuk menyiasati kelebihan pasokan/oversupply listrik PT PLN (Persero).
“Menyalurkan oversupply, kan kalau oversupply harus bayar take or pay, ini kan beban” kata dia di Gedung DPR MPR, Jakarta, Kamis (22/09/2022) dilansir dari CNN Indonesia.
Kontrak listrik PLN sendiri menerapkan skema take or pay. Artinya, PLN harus tetap membayar sesuai kontrak meski listrik yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP) dipakai atau tidak.
Arifin menjelaskan program kompor listrik ditujukan untuk meningkatkan permintaan akan listrik. Jika demand naik, serapan listrik pun bisa meningkat. Apalagi saat ini pemerintah juga tengah mendorong penggunaan kendaraan listrik.
“Jadi kan ini (kompor listrik) uji coba, sekarang motor listrik didorong supaya bisa masuk, nanti tinggal respons dari pasar, kalau pasar ini responsnya bagus otomatis demand-nya juga naik,” papar Arifin.
Meski tidak menyebutkan jumlah pastinya, Arifin mengklaim oversupply cukup banyak. Terlebih, masih banyak pembangkit baru yang masuk program pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) beberapa waktu belakangan.
“(Pembangkit) yang dalam konstruksi akan susah (dibatalkan), ini akan jadi tambahan,” kata Arifin.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana menyebut oversupply listrik PLN mencapai 6 GW di akhir 2022.
Menurutnya, jumlah itu mencakup seluruh Indonesia. Namun, mayoritas di Pulau Jawa. “6 GW kalau akhir tahun ini. Yang (tahu) persis kan di PLN,” katanya.
Sebelumnya, Rida menuturkan pemerintah bakal memberikan paket kompor listrik secara gratis kepada 300 ribu rumah tangga yang menjadi sasaran tahun ini.
Nantinya, rumah tangga penerima paket kompor listrik ini adalah yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Paket tersebut terdiri dari satu kompor listrik, satu alat masak dan satu Miniature Circuit Breaker (MCB) atau penambah daya khusus untuk kompor listrik.
“Rencananya tahun ini 300 ribu (penerima). Jadi satu rumah itu dikasih satu paket, kompornya sendiri, alat masaknya sendiri, dayanya dinaikin,” ujarnya.
Rida menjelaskan harga paket kompor listrik ini sekitar Rp1,8 juta, sehingga jika sasarannya 300 ribu rumah tangga, maka anggaran yang dibutuhkan tahun ini sekitar Rp540 miliar.
Meski demikian, Rida mengatakan masih bisa ada perubahan. Sebab, ada masukan agar data kompor listrik yang dibagikan dinaikkan.
Saat ini, daya yang bakal dibagikan sebesar 800 watt untuk dua tungku. Namun, ada masukan dari DPR agar dayanya dinaikkan menjadi 1.000 watt.
“Perencanaan awal, sama-sama dua tungku, awalnya 800 watt, sekarang mau dinaikkan lagi salah satunya 1.000 MW. Jadi biar masaknya lebih kencang (cepat),” kata Rida.
Jika perubahan daya dilakukan, maka kata Rida akan ada tambahan anggaran untuk satu paket kompor listrik. Misalnya, saat ini dengan daya 800 watt itu Rp1,8 juta, maka dengan daya 1.000 watt bisa mencapai Rp2 juta per paket.
“Cuma sekarang masih uji coba, ada usulan yang satu tungkunya dirubah lebih gede. Nah, masih dikalkulasi berapa harganya, harusnya kan enggak Rp1,8 juta lagi, pasti lebih naik, sekitar Rp2 juta lah,” tegasnya.
Adapun uji coba konversi LPG 3 kg ke kompor listrik ini tengah dilakukan di tiga kota, yakni Denpasar, Solo, dan satu lainnya di Sumatra.
*Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo Bandingkan Antara Gas LPG dan Kompor Listrik*
Sebelumnya Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo membeberkan perbandingan ongkos masak antara kompor induksi bertenaga listrik dan kompor dengan gas LPG. Menurutnya, kompor induksi biayanya lebih murah 10-15%.
Darmawan menjelaskan kompor LPG sejauh ini harganya per kg mencapai Rp 4.250 sesuai aturan subsidi yang berlaku, namun dengan berbagai urusan rantai distribusi harga asli di masyarakat bisa mencapai Rp 5.250 per kg.
Artinya, untuk memasak dengan jumlah energi gas LPG mencapai 1 kg masyarakat mengeluarkan uang hingga Rp 5.250 per kg.
“Kalau sesuai Kepmen harganya dilepas Rp 4.250. Tentu saja ada rantai pasok dengan rata rata 5250 rupiah per kg,” ungkap Darmawan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Rabu (14/9/2022) dilansir dari CNN Indonesia.
Nah, dengan kompor listrik harga memasak setara dengan gas LPG 1 kg lebih murah. Masyarakat cuma mengeluarkan uang Rp 4.530.
“Kami lepas ke masyarakat biaya listrik memasak 1 kg ekuivalen (gas LPG) adalah Rp 4.530 yang dibayar masyarakat,” ungkap Darmawan.
Artinya, bila dibandingkan biaya masak dengan kompor induksi hanya mencapai Rp 4.530 per kg setara gas LPG. Sementara untuk 1 kg gas LPG harganya lebih mahal di sekitar Rp 5.250.
“Tentu saja dengan gunakan kompor induksi biaya memasak bida lebih hemat 10-15% dibandingkan LPG,” papar Darmawan.
Selain itu menurut Darmawan sejauh ini kompor induksi bisa memasak lebih cepat daripada kompor LPG.
Setidaknya dari hasil pengujian Puslitbang PLN dan Balitbang Kementerian ESDM, untuk memanaskan air 2,5 liter dari 20 derajat Celcius ke 90 derajat Celcius kompor induksi bisa melakukannya lebih cepat.
Hasil pengujian itu memperlihatkan kompor listrik dengan tenaga 1.800 watt dapat memanaskan air dalam waktu 8 menit 47 detik. Sementara, kompor LPG butuh waktu 10 menit 29 detik.
“Arahan ESDM, dari Ditjen Ketenagalistrikan, kompor induksi (kompor listrik) harus lebih cepat memasaknya dibanding kompor LPG. Kami perubahan spek hasilnya kompor induksi 1800 watt bisa lebih cepat, LPG 10 menit, induksi hanya 8 menit,” papar Darmawan. (red)
Penulis: Syafrudin Budiman SIP