Naskah La Galigo adalah epik tentang mitos penciptaan dari peradaban Suku Bangsa Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis oleh Colliq Pujie antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi berbahasa Bugis kuno dalam bentuk aksara Lontara Bugis kuno pula.
Naskah sastra yang puitis ini pun acap disebut puisi, meski terdiri dari sajak bersuku kata lima yang bercerita tentang kejadian asal usul manusia.
Sebagai epik yang hidup dalam tata masyarakat Bugis, naskah sastra ini berkembang lewat tradisi lisan — jauh sebelum tradisi tulis menulis dibudayakan — dengan cara dinyanyikan pada berbagai acara adat tradisional Suku Bangsa Bugis yang dianggap penting bernuansa spiritual yang kental.
Versi tertulis dari prosa yang mendedahkan hikayat kejadian manusia ini paling awal telah diawetkan pada abad ke-18, dari versi sebelumnya yang hilang akibat tidak terawat dengan baik, sehingga lapuk dan dimakan oleh rayap. Tentu saja akibatnya naskah Ila Galigo dalam versi yang lebih lengkap dan otektik jadi sedikit berkurang. Namun sebagian dari naskan yang telah diawetkan ini toh masih tersisa tak kurang dari 6.000 halaman atau 300.000 baris teks.
Meski begitu, toh naskah Ila Galigo tetap menjadi salah satu karya sastra terbesar, terpanjang dan terunik di dunia. Dalam versi Unesco, Ila Galigo berawal dari abad 14. Walau dalam versi lain ada yang meyakinkan berasal dari abad jauh sebelumnya. Karena Unesco telah menetapkan Ila Galigo sebagai Memory of The World yang patut jadi kebanggaan serta patut untuk diperhitungkan oleh segenap warga bangsa Indonesia, sebagai bagian dari kekayaan yang tak dimiliki bangsa-bangsa lain dk dunia.
Kendati tidak masuk dalam katagori teks sejarah, toh kuatnya aspek mitologis dalam narasi naskah Ila Galigo ini, justru memiliki nilai lebih dan keunikannya menjadi sangat menarik dan mengagumkan.
“Sementara para ilmuwan juga mengakui betapa kuat pengaruhnya Ila Galiho ini terhadap para sejarawan yang telah mampu terhantar masuk peradaban besar manusia melalui karya sastra suku bangsa Bugis — sebagai bagian dari masa silam yang patut untuk dilestarikan. Utamanya untuk pengembangan wisata spiritual yang harus terus dikembangkan agar dapat ikut mengantisipasi beragam krisis yang melanda dunia.
Sebab melaui aksara dan bahasa ucap sastra puitis ini betapa besar dan dakhsyatnya peradaban masa lalu suku bangsa Nusantara yang diekspresikan melalui Ila Galigo. Jadi karya sastra monumental ini, sungguh melebihi kedekhsyatan epik India — yang juga terkenal disebut Mahabarata serta Ramayana — bahkan Ila Galigo lebih panjang daripada kisah Homerus — karya epik Yunani yang juga terkenal itu.
Sebagai kitab tuntunan hidup, Ila Galigo bagi masyarakat Bugis yang memiliki kepercayaan kepada Tolotang – memposisikan Ila Galigo sebagai pegangan. Yaitu kitab suci untuk menuntun hidup dan penghidupan suku bangsa Bugis — yang sungguh memiliki peradaban tinggi seperti termuat dalam Ila Galigo, malai dari bahasa, aksara serta daya ucapnya yang megis sungguh membuktikan memiliki nilai-nilai spiritual yang maha dakhsyat.
Karena itu naskah dan segenap muatan isi dalam kitab Illa Galigo ini sangat sakral dan patut mendapat perlakuan khusus ketika hendak membuka dan membaca makna yang tersirat padat di dalamnya.
Setidaknya, untuk dijadikan acuan, referensi, rujukan, bandingan dalam upaya pencarian, pendalaman sertakajian serius tentang budaya besar bangsa Nusantara, yaitu suatu bangsa yang kemudian bersepakat berada dalam satu kesatuan dalam kebersamaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti adanya sekarang.
Dan kini, siap memasuki peradaban manusia baru di muka bumi dengan kesiapan daya dan upaya spiritualitas yang tinggi dan matang
Muara Baru, 12 April 2022