BANDUNG – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar berhasil menyelesaikan ujian seminar hasil riset Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), Bandung dengan nilai mutu A. Sehingga bisa melanjutkan ke Sidang Tertutup yang direncanakan pada November 2022.
Mengambil tajuk penelitian ‘Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas’. Dihadapan para penguji yang terdiri dari Promotor Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCB. Arb; Co-Promotor Dr. Ary Zulfikar, SH.,MH; dan para Openen Ahli antara lain Menteri Hukum dan HAM Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, SH.,M.Sc.,Ph.D; Prof. Dr. Gde Panca Astawa; Prof. Huala Adolf, SH.,LL.M.,Ph.D; Dr. Adrian E. Rompis, S.H., M.H., BBA; dan Dr. Prita Amalia, SH.,MH.
Penelitian menggunakan tiga kerangka pemikiran, yakni grand theory menggunakan teori negara kesejahteraan (welfare state), middle theory menggunakan teori pembangunan, dan applied theory menggunakan teori hukum transformatif yang diperkenalkan Prof. Ramli. Penelitian juga menggunakan perbandingan hukum atas penerapan pembangunan nasional yang dilakukan di 5 Negara yakni Rusia, Jepang, Korea Selatan, Irlandia, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sekaligus mewawancarai berbagai pakar dan akademisi antara lain Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Yusril Ihza Mahendra, serta Dr. Edmon Makarim.
“Das sollen (kondisi ideal) yang menjadi landasan dalam penelitian ini mencakup tiga hal. Yakni, pembangunan nasional dalam setiap pergantian kepemimpinan harus berkelanjutan, pembangunan nasional harus berjiwakan kedaulatan rakyat, serta pembangunan nasional harus berbasis perkembangan transformatif. Namun kenyataannya (das sein), pada saat ini arah pembangunan nasional tidak berkesinambungan, pembangunan nasional hanya berbasis program kerja presiden dan wakil presiden, tidak mempresentasikan aktor pemegang kedaulatan rakyat, serta pembangunan nasional tidak berkesinambungan,” ujar Bamsoet dalam ujian seminar hasil riset Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Kampus UNPAD Bandung, Senin (24/10/22).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, para pendiri bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan telah menyiapkan haluan negara sebagai road map pembangunan masa depan bangsa. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, misalnya, terdapat beberapa Ketetapan MPRS sebagai landasan perencanaan pembangunan. Misalnya Tap MPRS Nomor 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN, Tap MPRS Nomor II/ MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Tap MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan GBHN dan Haluan Pembangunan.
Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, GBHN diproyeksikan sebagai perencanaan pembangunan 25 tahunan. Untuk merealisasikan GBHN ditetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang terwujud dalam APBN. GBHN dan turunannya dijadikan sebagai pengejawantahan dari UUD 1945. Memasuki reformasi, berdasarkan amandemen ketiga dan keempat konstitusi, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN. Perencanaan pembangunan digantikan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang ditetapkan undang-undang, dan diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek.
“Akibatnya presiden terpilih pasca Reformasi memiliki paradigma pembangunannya masing-masing. Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri menghasilkan peraturan perundangan yang menjadi konsep clean and good government. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghasilkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), serta Presiden Joko Widodo dengan Nawacita. Masing-masing paradigma tidak memiliki keterkaitan, sehingga tidak salah jika terkesan pembangunan yang dilakukan antar periode pemerintahan tidak selaras dan tidak berkesinambungan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, dengan menghadirkan kembali haluan negara yang kini diberi nomenklatur PPHN, dapat menjamin keselarasan dan kesinambungan pembangunan antara pusat dengan daerah, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, serta antara satu periode pemerintahan ke periode penggantinya, baik di tingkat pusat hingga daerah. Sekaligus memastikan pembangunan tidak hanya dijalankan berdasarkan pada pelaksanaan dengan memanfaatkan uang rakyat melalui APBN, melainkan terlebih dahulu didasarkan pada perencanaan yang matang. Sehingga pelaksanaannya tidak akan mangkrak ditengah jalan.
PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya. Dokumen tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi presiden dan penyelenggara negara lainnya dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangannya masing-masing.
“Kehadiran PPHN membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi. Sekaligus mengingatkan pada gagasan pentingnya perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh pendiri bangsa pada tahun 1947 (75 tahun yang lalu) yang terlihat dalam tujuh bahan-bahan pokok indoktrinasi, tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, dan makmur,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, pengaturan PPHN sebagai ‘directive principles of government policies of Indonesia’ dapat dilakukan melalui beberapa pilihan. Pertama, Perubahan terbatas UUD NRI Tahun 1945 khususnya pasal 2 dan pasal 3 ayat (1) untuk memasukan substansi kewenangan MPR menyusun dan mengawasi pelaksanaan PPHN oleh pemerintah. Kedua, mengubah UU No. 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 13/2022, untuk memasukan substansi mengenai kedudukan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur, yang dapat dibentuk oleh MPR dalam rangka pengaturan mengenai PPHN.
Ketiga, yakni mengubah UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No.13/2019, untuk memasukan substansi mengenai kewenangan MPR membentuk PPHN dengan produk hukum berupa TAP MPR. Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah UU yang mencabut UU No. 25/2004 tentang SPPN. Kelima, MPR menetapkan PPHN melalui konvensi ketatanegaraan, tanpa melalui perubahan produk hukum seperti pada berbagai pilihan sebelumnya.
“Penelitian disertasi ini merekomendasikan pilihan kelima sebagai pilihan terbaik, karena konvensi ketatanegaraan merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktek hukum di Indonesia. Untuk memastikan PPHN berjalan efektif, MPR menyelenggarakan sidang tahunan untuk memfasilitasi presiden dan lembaga negara lainnya melaporkan kinerja tahunannya dalam menjalankan PPHN. Bentuk penilaian terhadap laporan tersebut ada dua pilihan. Pertama, diserahkan secara langsung kepada rakyat. Kedua, MPR diberikan kewenangan memberikan pendapat yakni, tercapai, tercapai sebagian, dan tidak tercapai. Pendapat tersebut bukanlah sanksi hukum, melainkan sebagai bagian check and balances agar PPHN bisa dijalankan oleh pemerintah,” pungkas Bamsoet. (*)