Tim Gabungan Indeprnden Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah dibawah Komando langsung Menko Pilhukham Machfud MD, untuk insiden di Stadion Kunjuruhan, Malang yang menewaskan ratusan orang dan mencederai banyak orang itu, pada 1 Oktober 2022, idealnya TGIPF juga dapat melakukan evaluasi menyeluruh, hingga ke sebab musabab sejumlah petugas di lapangan — karena pasti tak semuanya berlaku brutal — perlu dilakukan untuk evaluasi kebijakan yang terkesan tidak pernah dikoreksi dan disempurnakan.
Boleh jadi akibat tekanan bawaan yang susah begitu berat — misalnya bisa saja karena dana operasional yang terbatas atau semacam konsumsi yang kurang memadai — boleh jadi tekanan yang mungkin saja telah menjadi bagian dari kebiasaan itu jadi terakumulasi secara psikologis hingga mempengaruhi sikap dan mental aparat yang harus bekerja dalam kondisi dan suasana tertekan. Akibatnya, tentu saja tingkat emosi bisa lepas kontrol seperti yang dominan dapat disaksikan lewat rekaman video amatir yang sudah tersebar luas di media sosial.
Presiden Joko Widodo pun telah menegaskan pada TGIPF untuk mengungkap tuntas tragedi Kunjuruhan di Malang itu tidak lebih dari sebulan sejak perintah Presiden dikeluarkan, seperti diungkap Menko Polhukham Machfud MD yang juga menjadi Ketua Koordinator TGIPF. (Spektrum Nasional.Com, 4 Oktober 2022).
Jadi mulai dari menentukan waktu pertandingan hinggatempat dan kesiapan panitia penyelenggara dengan segenap perangkat pendukung acara kompetisi itilu sendiri — utama dalam hal keamanan dan kenyamanan acara, patut diuraikan secara rinci dan seksama.
Akibat dana yang terbatas atau tersendat maupun terbatas — boleh jadi pengaruhnya akan berakibat pada pelaksana tugas aparat di lapangan. Hanya karena dana yang terbatas, misalnya untuk mencukupi minuman dan makanan, bisa jadi akibatnya ikut mempengaruhi temperatur mereka yang sedang bertugas ditengah panas dan kebisingan suasana yang hingar bingar.
Ada kalanya memang dalam suasana yabg hingat bjngar itu menjadi daya tarik tersendiri dan asyik untuk dinikmati. Namun, tidak kalah banyak mereka yang tidak bisa ikut menikmatinya, termasuk untuk menahan diri agar tidak tersulut egosentrisitasnya yang mungkin saja sangat sensitif.
Artinya, perlu dievakuasi lebih jauh — tanpa prasangka negatif — mengapa sikap brutal aparat saat mencegah atau menghalau para supporyer yang merangsek melewati sekat dan batasan yang tidak boleh mereka masuki itu menjadi begitu bringas dilakukan.
Seandainyabisa dilakukan dengan perduasif serta sikap yang lembut, boleh jadi pada umumnya para supporter yang masih remaja itu akan tersentuh juga hatinya dengan cara menjelaskan dan keramahan. Sebab bagaimana pun, para supporter yang umumnya masih berusia remaja itu tetap memerlukan bimbingan dan arahan, tak patut dan juga tidak pantas diperlakukan sebagai lawan.
Dari berbagai kemungkinan itu, sifat mungkin pula para petugas yang diteruskan ke lapangan memang masih relatif muda pula. Maka kesan tauran antara aparat dengan para supporter jadi semacam keputusan yang semakin tidak mampu dikendalikan.
Idealnya ingin mendorong TGIPF melakukan iventigasi yang lebih bersifat mendalam secara psikologis yang ditautkan dengan kebijakan teknis operasional para petugas yang ada di lapangan, agar perlakuan adil bisa diperoleh juga oleh mereka yang selama ini terkesan aragon saat menjalankan tugasnya. Sikap serupa itu, acap kali sering kita saksikan ketika kaum buruh atau mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di berbagai tempat maupun kota do Indonesia. Kita ingin menyaksikan semua tontonan maupun aksi unjuk rasa warga masyarakat lain pun berlangsung tertib, damai dan santun hingga bisa ikut serta membangun budaya manusia yang mulia dan bermartabat, tak hanya dimata manusia, tetapi juga dihadapan Tuhan. Seperti sila dari Pancasila yang menjadi tuntunan serta kesepakatan kita segenap warga bangsa Indonesia.
Banten, 4 Oktober 2022