Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M HIdayat Nur Wahid, MA menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap sikap resmi pemerintah Australia yang menegaskan tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, serta berharap agar sikap ini diikuti negara-negara lain yang terlanjur mengikuti kemauan sepihak Israel mengakui Yerusalem sebagai ibukotanya.
SIkap pemerintahan Perdana Menteri Australia;Albanese yang disampaikan melalui Menteri Luar Negeri Penny Wong ini menganulir kecerobohan sikap pemerintah Australia sebelumnya. Pada era pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh kelompok konservatif, sikap Australia mendukung Israel menjadikan Yerusalem sebagai ibukota mereka, dan itu menimbulkan kontroversi dan tidak sesuai dengan spirit hadirkan perdamaian di sana.
“Kebijakan terbaru PM Australia Albanese ini, bukan hanya perlu diapresiasi, tetapi juga perlu didukung oleh Masyarakat Internasional yang cinta damai, agar terciptanya perdamaian bukan hanya slogan klise yang diwariskan dari generasi ke generasi, sementara fakta di lapangan kondisi makin memburuk, dengan teror penjajahan dan pendudukan oleh Israel di wilayah Palestina yang makin brutal saja, bahkan Masjid al-Aqsha di Yerusalem yang terhubung dengan peristiwa Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW, karenanya sangat dihormati di kalangan Umat Islam, menjadi korban dari suasana teror ketidakdamaian di Yerusalem,” ujarnya sesudah menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Islamic Center Indonesia, Jakarta, Kamis (20/10).
HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa sikap mencabut pengakuan dan karenanya tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel, seperti yang belakangan dilakukan Australia, itu juga yang sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB). “DK PBB pada 2017 lalu juga secara tegas menolak klaim Israel, dan karenanya menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Tapi sangat disesalkan Amerika Serikat memvetonya,” ujarnya.
“Dengan pendekatan di atas, wajarnya agar sikap Australia ini juga dapat diikuti oleh sekutu-sekutunya, terutama negara-negara Barat. Dukungan ini bisa produktif untuk menciptakan apa yang selalu mereka serukan yaitu melawan terorisme, radikalisme dan terwujudnya perdamaian di kawasan, agar suasana damai ini juga berdampak positif di belahan-belahan dunia lainnya,” tambahnya.
Apalagi, lanjutnya, negara-negara barat kerapkali mengagungkan dan mendukung pendekatan solusi perdamaian dua negara Palestina-Israel. “Tetapi bila Yerusalem diakui sebagai Ibukota Israel, tentu saja itu tidak sesuai dan bahkan mengancam realisasi damai dengan solusi dua negara. Karena sejak awal, dan sesuai dengan kesepakatan internasional sebelumnya, Palestina sudah menegaskan secara geografis dan historis bahwa Yerusalem (timur) merupakan ibukota negara Palestina”jelas Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
HNW juga berharap agar pemerintah Indonesia dapat segera menjalin komunikasi dengan pemerintah Australia terkait dengan sikap terbarunya yang menganulir pengakuan sebelumnya bahwa Yerusalem ibukota Israel. “Pemerintah Indonesia, terutama lewat Ibu Menteri Luar Negeri harusnya bisa berperan lebih aktif, mendukung sikap Menlu Australia yang juga perempuan itu, agar konsisten dalam penolakan Yerusalem sebagai Ibukota Israel karena tidak membantu menghadirkan perdamaian. Agar juga bisa digalang kekuatan internasional untuk menciptakan perdamaian dan mengakhiri penjajahan di Palestina,” ujarnya.
Dengan peran aktif tersebut, lanjut HNW, diharapkan bermunculan sikap-sikap negara lain yang sudah terlanjur mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada 2017 lalu, agar dapat mengikuti Australia, dengan menganulir pengakuan itu. “Hal ini sangat penting karena Kemenlu berulangkali menyatakan bahwa persoalan Palestina ini adalah jantungnya politik luar negeri Indonesia. Bahkan Presiden Jokowi berulang kali menyatakan sikap dukungannya pada kemerdekaan Palestina, bahkan katanya, Indonesia berhutang pada Palestina, karena Palestina adalah satu-satunya Negara yang diundang hadir dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955, tapi sampai sekarang belum merdeka juga. Mengkoreksi pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, dan menjadikan Yerusalem timur sebagai Ibukota Palestina, adalah salah satu jalan pentingnya”pungkas HNW. (*)