Nyinyir itu bukan satu-satunya disebabkan oleh usia renta, justru usia yang uzur itu mampu menjadi pengendali diri. Tapi memang ada kecenderungan yang sebaliknya, seperti kata Sighmoun Frued, semakin tua itu bisa jadi semakin tak tau diri. Seakan semua soal memang telah dia lalui dan kuasai. Dalam tatanan seksual ada istilah tua-tua keladi. Semakin tua semakin jadi
Istilah itu biasanya untuk menuding kaum lelaki. Tapi untuk kaum perempuan bukan tidak ada istilah serupa, itulah yang acap dijadikan gunjingan yaitu, semakin tua, semakin mantap santannya.
Namun pada umumnya tabiat nyonyir ini cukup dominan melanda para pengajar termasuk dosen. Semua orang bisa diposisikannya sebagai siswa atau mahasiswa. Padahal, apa yang sedang diomongin itu bukan urusan kampus. Jadi sikap silap itu karena terlanjur biasa memposisikan semua orang yang ada dihadapannya adalah murid, atau mahasiswa. Sehingga ia selalu merasa berhak untuk mengajari dan mengkuliahi. Yang runyam, tentu saja acap keterusan untuk mengkuliahi juga mertuanya sendiri.
Perilaku nyinyir ini bisa dianggap sesuatu yang jamak dan wajar, ketika masih dalam koridor kontrol. Bukan untuk dimaksud bergagah-gagahan agar bisa terkesan hebat dan lebih unggul dari orang yang sedang dia nyinyirin. Bahkan, sikap nyinyir masih bisa dikata sehat, sebatas untuk menggoda saja, agar yang bersangkutan bisa kebih kritis, lebih giat atau sekedar hasrat ingin memprovokasi semata agar yang bersangkutan bisa lebih agresif dan bersemangat untuk terus melanjutkan apa yang tengah dia kerjakan.
Intinya, perlu juga disebutkan bahwa sifat dan sikap nyinyir itu, tetap diperlukan sebatas untuk memotivasi diri dan orang lain yang bisa memahaminya sebagai sanepo dari nyinyiran tersebut.
Termasuk nyinyir yang masih sangat dominan mewarnai media sosial — utamanya whatsapp — yang hampir disemua grup ada saja fraksi pernyinyiran meski tidak terorganisir, tapi aktivitasnya lumayan merepotkan bagi mereka yang tak suka, karena harus mendelet kisaran sporadis yang sangat tidak bermutu itu.
Tokoh utamanya hampir dalam semua grup wgatsapp tetap ada tokohnya yang menonjol dan paling getol menyinyirin untuk semua postingan yang tersaji. Tapi yang konyol, ada saja diantaranya yang protes atau karena merasa tak lagi kuat menahan kedongkolan, lalu menghardik yang bersangkutan dengan ucapan yang agak sarkastik. Meski ada kalanya sergahan itu terus menghentikan keculasan yang bersangkutan, tapi tak sedikit pula yang berlanjut hingga berlarut, sampai membuat jenuh dan jangah anggota grup itu yang lain. Yang celaka, ketika ada pihak ketiga yang ikut nimbrung, biasa tak mampu berdiri ditengah. Maka keberpihakan pun bisa menyukut hati pihak lain yang semakin panas.
Kira-kira seperti itulah kurang leb9hnya takaran kesadaran warga negeri ini untuk memanfaatkan media sosial, belum mampu maksimal misalnya untuk dijadikan sarana memperoleh informasi, menyalurkan komunikasi dan membuat publikasi positif seperti Emak-emak yang lebih kreatif memasarkan kritik buatan dapurnya sendiri.
Yang terbilang gawat adalah nyinyir yang agak lebih provokatif progresif karena punya target dan ambisi tertentu. Ada pula yang sekedar iseng, tapi tak tahu diri sehingga menambrak rasa sensitivitas orang lain banyak yang merasa terluka. Walau luka hati itu tidak seberapa, toh namanya juga sudah mencederai orang lain, biasanya ada yang merasa perlu membuat perhitungan, untuk dibalas lunas. Ada pula yang ceriwis dan nyinyir menberi komentar kepada tulisan yang kritis, bakin sekedar ingin nimbrung dia pasang omong juga sekenanya saja, meski tidak jelas arah juntrungannya, sehingga cuma mempertontonkan kebodohan sendiri yang tak layak diketahui publik.
Agaknya, atas pemahaman dan kesadaran serupa ini kemudian ada fenomena baik dari pengguna medsos sekarang tampak semakin berkurang untuk tidak sembrono dan gegabah bermedsos-ria, karena ada sanksi berat dari UU ITE. Hanya saja sayangnya, pihak Kemeninfokom tidak cukup mumpuni untuk membina — apalagi untuk mengarahkan– agar pengguna media sosial bisa lebih baik, lebih santun dan lebih beradab untuk memanfaatkannya sebagai sarana yang kreatif serta produktif untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti harkat dan martabat kemanusiaan seperti yang sudah tertoreh pada sila dari Pancasila yang konon katanya dapat dijadikan pandangan hidup segenap warga bangs Indonesia. Dan pemerintah sendiri sudah mengasyikkan sebagai ideologi negara. Meski apa yang harus dilakukan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasika) belum begitu jelas guna dan manfaatnya bagi masyarakat kita.
Artinya, nyinyir dan ceriwis itu — atau sebaliknya, ceriwis dan nynyir itu masih bisalah ditolerir sekedar untuk mengendorkan ketegangan. Jadi, jangan sampai ceriwis dan nyinyir itu justru jangan sampau membuat ketegangan antara kita.
Banten, 11 Oktober 2022